BI Prediksi Tantangan Ekonomi ke Depan



Bank Indonesia (BI) mengakui banyak tantangan bagi perekonomian di dalam negeri dalam kurun waktu tiga bulan ke depan. Menurut Gubernur BI Agus DW Martowardojo, tantangan tersebut datang baik dari sisi eksternal maupun internal. Apalagi, terdapat defisit yang besar dalam transaksi berjalan.
"Kita melihat di transaksi berjalan kita defisit terus membesar dan itu juga didukung oleh defisit neraca perdagangan kita yang semakin besar. Di fiskal juga ada defisit yang besar serta juga ada primary balance negative, sehingga persepsi investor semakin khawatir," kata Agus di Jakarta, Jumat (14/6).
Tantangan lainnya, lanjut Agus, adalah ekspektasi dari masyarakat dan pelaku usaha yang terus meninggi terkait inflasi. Untuk mengantisipasi hal ini, BI siap meningkatkan koordinasi dengan pemerintah dan otoritas lain seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
"Kami ingin selalu berkoordinasi dengan otoritas lain, khususnya otoritas fiskal," ujar mantan Menteri Keuangan ini.
BI memperkirakan, membengkaknya inflasi akan terjadi pada Juni, Juli dan Agustus tahun ini. Menurutnya, secara historis di tiga bulan tersebut memang selalu terjadi peningkatan laju inflasi dan merupakan periode inflasi tertinggi di setiap tahun. Atas dasar itu, BI perlu mengambil langkah pre-emptive dalam mengendalikan ekspektasi inflasi tersebut.
Sejumlah langkah pre-emptive yang telah dilakukan BI adalah dengan menaikkan suku bunga Fasilitas Simpanan BI (Fasbi Rate) dan suku bunga acuan (BI Rate) di pekan ini. "Yang kami respons adalah expected inflation dan ada kekhususan juga bagi kami untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, karena situasi ekonomi dunia yang tidak pasti," katanya.
Tinggi ekspektasi inflasi, kata Agus, juga didukung dengan rencana pemerintah mengenai kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. "Kalau seandainya pembahasan RAPBN-P selesai dan harga BBM (bahan bakar minyak) naik, maka inflasi akan naik," ujarnya.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, menyikapi sejumlah tantangan perekonomian BI terus meresponnya dengan berbagai macam kebijakan. Menurutnya, kondisi pasar sudah kembali kondusif. Hal ini ditandai dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang kembali normal.
"Supply-demand sudah berjalan, eksportir menjual, bank-bank juga sudah menjual, kurs hari ini Jisdor (Jakarta Interbank Spot Dollar) Rp9.886 sudah mencerminkan kondisi supply demand yang ada di pasar dan di pasar valas itu nilai tukarnya," tutur Perry.
Selain itu, penjualan Surat Berharga Negara (SBN) yang turut kondusif. Bahkan, kecenderungannya akan menguat. Meski begitu, ia mengakui masih ada tekanan terhadap pasar saham. Namun tekanan ini tak sebesar yang dialami oleh negara-negara lainnya.
"Kemarin meskipun ada penurunan -1,9 persen itu jauh lebih rendah dibandingkan penurunan di Philipina, Jepang maupun negara kawasan lain. Artinya langkah-langkah kordinasi yang kita lakukan, baik pemerintah, Kemenkeu, OJK, LPS, BI dalam konteks stabilitas makro dan stabilitas sistem keuangan itu memang sudah berangsur-angsur memulihkan pasar," tutup Perry.

No comments:

Post a Comment